Sunday 14 December 2014


Aneh, BUMN Jual Gas ke Trader dan Dibeli BUMN Lain
Rista Rama Dhany - detikfinance
Senin, 15/12/2014 06:34 WIB





Jakarta -Pekan lalu, Menteri ESDM Sudirman Said menegaskan, BUMN tidak boleh lagi membeli gas dari pihak ketiga. Aneh memang di Indonesia, sesama BUMN harusnya saling kerjasama agar bisnis efisien. ‎

Pihak ketiga yang dimaksud ini adalah para trader gas bumi. Bila trader ini menguasai distribusi gas, maka harga pasti lebih mahal. Harusnya sesama BUMN bisa melakukan transaksi langsung tanpa trader.

"Ke depan tidak boleh lagi BUMN membeli gas ke pihak ketiga. Sementara ada BUMN penghasil gas malah menjual ke pihak ketiga," tegas Sudirman.

Mengapa trader bisa mudah dapat jatah gas bumi?

Menurut Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng, trader memang pada dasarnya diakui dalam undang-undang nomor 22 Tahun 2009 tentang minyak dan gas bumi (migas).

"Trader gas itu oleh undang-undang dikenal," ujar Andy kepada detikFinance, Senin (15/12/2014).

Ia mengatakan, fungsi ideal perusahaan trader adalah menjadi jembatan antara produsen gas ke konsumen gas, sehingga memudahkan pemanfaatan gas bumi lebih cepat. Artinya produsen gas cepat dapat mencari pembeli gas, dan konsumen dimudahkan mendapatkan pasokan gas



"Trader ini fungsi sebenarnya menjembatani antara konsumen, shipper,transporter, dan offtaker," ucapnya.

Namun, yang jadi permasalahan, banyak trader gas ini tidak punya modal, hanya dekat dengan kekuasaan, sehingga mudah mendapatkan alokasi gas. Alokasi gas ini yang jadi bahan dagangannya ke konsumen yang sedang membutuhkan gas.

"Di mana-mana trader ini harus punya modal, minimal dia punya infrastruktur gas seperti pipa gas, bukan yang terjadi sepert saat ini, banyak trader hanya modal dengkul dan dekat dengan kekuasaan, ujungnya konsumen yang dirugikan karena harus bayar gas dengan harga tinggi," ungkapnya.

"Sehingga konsumen termasuk BUMN sekalipun terpaksa beli gas dengan harga mahal, karena butuh pasokan gas, salah satu yang punya gas selain produsen gas ya para trader gas," tutupnya.

http://finance.detik.com/read/2014/12/15/063402/2776983/1034/aneh-bumn-jual-gas-ke-trader-dan-dibeli-bumn-lain

Rp 100 Triliun Subsidi BBM Dinikmati Pengguna Mobil Pribadi


Rp 100 Triliun Subsidi BBM Dinikmati Pengguna Mobil Pribadi


KATADATA - Sekitar separuh dari total anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2013 dikonsumsi oleh pengguna mobil pribadi.

Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) pada 2013 menunjukkan total anggaran subsidi BBM yang disalurkan oleh pemerintah mencapai Rp 210 triliun. Dari jumlah subsidi yang disalurkan tersebut sebagian besar, yakni 92 persen digunakan untuk transportasi darat.

Dari total subsidi yang disalurkan untuk transportasi darat, sekitar 53 persen dinikmati oleh pengguna kendaraan pribadi. Itu berarti lebih dari Rp 100 triliun subsidi BBM dinikmati oleh orang kalangan menengah ke atas. Sedangkan, sekitar 40 persen dikonsumsi oleh sepeda motor. Angkutan umum yang digunakan oleh sebagian besar rakyat menengah ke bawah hanya menikmati 3 persen subsidi BBM.

Besarnya alokasi subsidi BBM untuk kendaraan pribadi dan sepeda motor ini seiring dengan lonjakan jumlah kendaraan bermotor yang terus berlanjut. Pada tahun lalu, penjualan mobil baru mencapai sebesar 1,2 juta unit dan sepeda motor mencapai 7,7 juta unit.

Pada tahun ini, anggaran subsidi BBM diperkirakan akan melonjak menjadi Rp 285 triliun seiring dengan kenaikan konsumsi akibat tambahan jumlah mobil dan motor, serta pelemahan kurs rupiah. Beban subsidi akan terus membengkak pada tahun-tahun berikutnya sehingga akan memberatkan pemerintah baru yang terpilih melalui pemilihan umum presiden pada 9 Juli mendatang.



Beda Cara Prabowo dan Jokowi Pangkas Subsidi BBM

READ MORE »
- See more at: http://katadata.co.id/infografik/2014/06/06/rp-100-triliun-subsidi-bbm-dinikmati-pengguna-mobil-pribadi#sthash.0kFXpBvS.dpuf

http://katadata.co.id/infografik/2014/06/06/rp-100-triliun-subsidi-bbm-dinikmati-pengguna-mobil-pribadi

Utang Pemerintahan SBY selama 9 Tahun Rp 1.496,12 Triliun, Mengapa Rakyat Jelata Makin Susah Hidupnya?



Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)


Jadikan Teman | Kirim Pesan

Utang Pemerintahan SBY selama 9 Tahun Rp 1.496,12 Triliun, Mengapa Rakyat Jelata Makin Susah Hidupnya?HL | 05 February 2014 | 07:15 Dibaca: 3417 Komentar: 18 13



Ilustrasi/Admin (Kompas.com)


Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang dikutip DetikFinance menyebutkan bahwa hingga akhir September 2013 utang pemerintah Indonesia telah mencapai Rp 2.273 triliun (Senin, 28/10/2013). Jumlah utang pemerintah Indonesia tersebut, jika dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak 237.641.326 jiwa, maka setiap orang Indonesia pada akhir September 2013 telah memiliki utang sebesar Rp 9.564 juta.

Jumlah utang pemerintah Indonesia terus bertambah besar karena pertama nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat terus melemah menjelang akhir 2013. Sampai sekarang kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah mencapai Rp 12.130 per dolar Amerika Serikat (

(sumber https://www.google.com/search?q=kurs+rupiah+bterhadap+dolar +Amerika+Serikat, 27/1/2014).

Kedua, pemerintah terus menambah utang baru. Tahun 2014 pemerintah merencanakan untuk menambah utang baru sebesar Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB. Utang tersebut untuk menutup defisit anggaran, karena tahun 2014 direncanakan total anggaran pendapatan negara sebesar Rp 1.662,5 triliun. Sementara total Belanja Negara (APBN) tahun 2014 sebesar Rp 1.816,7 triliun (sumber: Pidato Kenegaraan Presiden SBY, 16/8/2013).

Peningkatan jumlah APBN dari tahun ke tahun patut disyukuri. Sebagai gambaran, tahun 2013 jumlah APBN sebesar Rp 1.657 triliun, pada tahun 2014 direncanakan meningkat menjadi Rp Rp 1.816,7 triliun.

Akan tetapi, peningkatan jumlah APBN paralel pula dengan peningkatan utang pemerintah Indonesia dan tidak meningkat kesejahteraan dari sebagian besar rakyat Indonesia.

Utang Meningkat Drastis

di Masa Presiden SBY APBN Indonesia di era Orde Reformasi, telah meningkat jumlahnya sekitar lima belas kali dibanding APBN pada akhir Orde Baru. Pada saat yang sama, meningkat pula utang pemerintah Indonesia yang mencapai lebih dari 300 persen dibanding utang di masa Orde Baru. Peningkatan utang yang sangat tajam terjadi pada awal Orde Reformasi. Total utang di akhir Orde Baru (1997) sebesar Rp 552,5 triliun atau 57 persen terhadap PDB.

Pada akhir 1999 utang pemerintah Indonesia meningkat drastis menjadi Rp 939,5 triliun atau 85 persen terhadap PDB (sumber: Kompas.com, Orla Mewarisi, orba Menambah Utang Luar Negeri, Jumat, 2 September 2011)

Peningkatan jumlah utang terjadi secara dramatis di masa pemerintahan Presiden SBY. Selama 9 (sembilan) tahun masa pemerintahannya yaitu dari 2005-2013, total utang yang dilakukan pemerintahannya sebesar Rp 1.496,12 triliun, dengan perincian: Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%) * Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%) * Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%) * Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%) * Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%) * Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%) * Tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (25%) * Tahun 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3%) * September 2013: Rp 2.273,76 triliun (27,5%) (Sumber: DetikFinance, 28/10/2013)

Mengapa Tidak Meningkat Kesejahteraan Rakyat

Sejatinya kalau APBN meningkat dan utang meningkat dalam jumlah yang luar biasa besar, rakyat makin sejahtera, kehidupan rakyat semakin bertambah baik.

Namun dalam realitas, yang terjadi pada rakyat jelata (wong cilik) adalah sebaliknya. Mereka semakin susah dan terpinggirkan. Penyebabnya antara lain: pertama, APBN yang ditopang dengan utang, tidak disasarkan untuk membangun ekonomi yang berkeadilan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, di mana pemerintah wajib memberi affirmative action untuk memberdayakan dan memajukan mayoritas rakyat Indonesia yang masih miskin, kurang pendidikan dan tertinggal.

Pemerintah membangun ekonomi, mengamalkan asas persaingan bebas (free competition), sehingga hasilnya tidak memberi manfaat nyata bagi kemajuan rakyat jelata, justru semakin memperkaya mereka yang sudah kaya dan maju.

Kedua, di era Orde Reformasi terlalu banyak kementerian dan lembaga negara yang didirikan, serta pembentukan daerah baru seperti kabupaten, kota dan provinsi, sehingga banyak menghabiskan anggaran belanja. Selain itu, pemerintah tidak hidup sederhana, hemat dan efektif dalam menggunakan anggaran belanja negara, dan terus menambah jumlah pegawai, sehingga anggaran belanja negara banyak terkuras untuk membayar belanja pegawai.

Ketiga, beban negara untuk membayar cicilan utang pokok dan bunga sangat besar dan terus meningkat jumlahnya. Sebagai gambaran:

Tahun 2010

- Cicilan utang pokok Rp 124,68 triliun
- Cicilan bunga Rp 105,65 triliun,

Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 230,33 triliun

Tahun 2011

- Cicilan utang pokok Rp 141 triliun

- Cicilan bunga Rp 106 triliun Total



Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 247 triliun

Tahun 2012

- Cicilan utang pokok Rp 139 triliun

- Cicilan bunga Rp 122,13 triliun

Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 261,13 triliun

Tahun 2013

- Cicilan utang pokok Rp 160,421 triliun

- Cicilan bunga Rp 111,798 triliun

Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 272,219 triliun

Sumber:

* Blog.resistnews.web.id/2012/catatan kritis atas pembangunan.html –

* DetikFinance, Kamis, 23/01/2014 08:04 WIB



Mengapa Rakyat Jelata Makin Susah

Sebagai sosiolog dan peneliti yang sering turun ke masyarakat bawah, saya menyaksikan kesulitan yang dihadapi rakyat jelata (wong cilik).

Selain itu, saya mendengar keluhan dan ratapan masyarakat bawah dari berbagai daerah dalam beberapa dialog interaktif di awal 2014 ini melalui Radio Elshinta Bandung dan Radio Elshinta Jakarta serta RRI Pro 3 Jakarta, pada saat saya menjadi narasumber (pembicara) dalam berbagai dialog tersebut.

Masyarakat bawah makin susah hidup mereka di era Orde Reformasi dibandingkan era Orde Baru. Sebabnya, pertama, mahalnya harga sembilan bahan pokok (sembako). Ekonom Dr. Hendri Saparini, dalam acara peluncuran CORE Indonesia di Musium Nasional beberapa waktu lalu. Dia mengemukakan bahwa dalam lima tahun terakhir sembilan bahan pokok (sembako) telah meningkat harganya sekitar 60 persen, yang berarti harga sembako mengalami kenaikan harga setiap tahun sebesar 12 persen.

Kenaikan harga sembako dan semua jenis barang tidak disertai dengan meningkatnya pendapatan rakyat jelata, sehingga mereka merasakan meningkatnya kesulitan hidup yang dialami.

Maka fenomena rakyat jelata merindukan Presiden Soeharto belakangan ini, sangat berkaitan erat dengan kesulitan hidup yang dialami rakyat jelata akibat harga sembako tidak terjangkau harganya oleh rakyat jelata.

Hal itu terjadi karena kegagalan pemerintahan Presiden SBY dalam politik sembako yang menyerahkan harga sembako kepada mekanisme pasar bebas. Puncak kekecewaan rakyat jelata, mereka kemudian mengenang masa pemerintahan Presiden Soeharto, walaupun tidak ada kebebasan, dan dianggap kejam serta otoriter dalam menjalankan pemerintahan, tetapi harga sembako murah dan terjangkau harganya oleh rakyat jelata.

Kedua, pekerjaan susah mendapatkan sekarang. Rakyat jelata (wong cilik) dalam berbagai kesempatan mereka mengemukakan kepada saya bahwa mereka lebih mudah mendapatkan pekerjaan di masa Orde Baru dibandingkan di era Orde Reformasi. Sekalipun gaji yang diperoleh dari hasil pekerjaan tidak besar di masa Orde Baru, tetapi karena sembako murah, maka pendapatan yang diperoleh dirasa cukup dan bahkan bisa menabung. Inilah kondisi umum yang dirasakan rakyat jelata, sehingga rasa tidak puas terhadap pemerintahan Presiden SBY sangat besar.

Kesimpulan

Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa masa pemerintahan Presiden SBY yang panjang selama hampir 10 (sepuluh) tahun di era Orde Reformasi, dan pada tahun 2014 ini akan mengakhiri masa pengabdiannya sebagai Presiden RI selama dua periode yaitu 2004-2009 dan 2009-2014, gagal membawa peningkatan kehidupan ekonomi dari mayoritas bangsa Indonesia, yang dapat menjadi “success story” yang akan dikenang sepanjang masa oleh rakyat Indonesia selama Presiden SBY memimpin Indonesia.

Pada hal dalam sembilan tahun masa pemerintahan Presiden SBY (2005-2013) telah berutang sebesar Rp 1.496,12 triliun, sehingga total utang pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai Rp 2.273,76 triliun.

Jumlah utang pemerintah Indonesia masih akan mengalami peningkatan pada tahun 2014. Semoga pada tahun-tahun mendatang ditemukan solusi untuk berhenti berutang.

Akhirnya saya mengemukakan rasa sedih yang amat mendalam bahwa meningkatnya utang pemerintah Indonesia yang luar biasa besar dari tahun ke tahun, tidak memberi manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.

Saya mengharapkan model pembangunan yang dijalankan sekarang ini segera diakhiri karena bertentangan dengan tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Semoga Pemilu 2014 menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih memihak kepada amanat penderitaan rakyat serta berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden RI yang tidak lagi memiliki kepentingan apapun kecuali ingin mewujudkan “Indonesia Raya” yang maju, bersatu, adil dan makmur. Jakarta, 28 Januari 2014

Musni Umar adalah Sosiolog, Direktur Institute for Social Empowerment and

Democracy (INSED)
http://politik.kompasiana.com/2014/02/05/utang-pemerintahan-sby-selama-9-tahun-rp-149612-triliun-mengapa-rakyat-jelata-makin-susah-hidupnya--629594.html

Jokowi Berikan Nomor HP yang Benar, Kesalahan di Media Massa

Jokowi Berikan Nomor HP yang Benar, Kesalahan di Media Massa
Sabtu, 1 November 2014 - 18:17 wib |

Tri Kurniawan - Okezone


Presiden Joko Widodo




JAKARTA - Nomor telefon (handphone/HP) yang dicantumkan di sebuah media massa ternyata bukan yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada para pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, pada Rabu 29 Oktober 2014.

Nomor telefon yang beredar tersebut ternyata milik seorang warga Gorontalo bernama Herman Abidun (30).

Berdasarkan penelusuran Okezone, nomor yang diberikan Presiden Jokowi saat itu adalah 08122600960. Nomor tersebut sengaja diberikan Presiden Jokowi agar bisa mendapat keluhan langsung dari masyarakat.

Sementara, nomor yang dimuat sebuah media massa adalah 081296007000. Nomor tersebut milik Herman.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, Jokowi sengaja memublikasikan nomor telefon pribadinya untuk memudahkan berhubungan dengan masyarakat yang ingin melaporkan suatu permasalahan.

"Beliau menyampaikan nomor itu kalau ada persoalan yang ingin dilaporkan," kata Khofifah kepada Okezone, Sabtu (1/11/2014) sore.

Khofifah ikut mendampingi Jokowi dalam kunjungan tersebut. Menurut dia, penyebaran nomor telefon merupakan bentuk bahwa negara hadir untuk rakyat.

"Presiden hadir untuk masyarakat di mana pun. Kalau mereka (pengungsi) akan menyampaikan apa yang terjadi di pengungian diberi kesempatan melaporkan ke Presiden," papar Khofifah.

Sebelumnya diberitakan, Herman mengatakan menerima ratusan telefon dan pesan singkat (SMS). Penelefon serta pengirim pesan singkat mengira Herman adalah Presiden Jokowi sebagaimana nomor telefon yang tertera di media massa tersebut.

http://news.okezone.com/read/2014/11/01/337/1059873/jokowi-berikan-nomor-hp-yang-benar-kesalahan-di-media-massa

KATEGORI