KPK dan DPD Sepakat Tolak UU MD3
Rabu, 23 Juli 2014 | 19:08 WIB
KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWANBusyro Muqodas
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepakat dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menolak Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru disahkan. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai, UU MD3 telah mengorupsi kewenangan lembaga lain, termasuk mengorupsi konstitusi.
"Kami sepakat pada pertemuan awal ini, kami akan tindak lanjuti dan bersama-sama menyatakan penolakan secara resmi atas disahkannya UU MD3 ini dengan sejumlah alasan yang tadi disampaikan," kata Busyro dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (23/7/2014).
Jumpa pers ini dilakukan setelah pimpinan KPK bertemu dengan Ketua DPD Irman Gusman dan sejumlah anggota DPD, yakni John Pieris serta Wayan Sudirta. Menurut Busyro, pihaknya sepakat dengan DPD untuk menolak UU MD3 karena undang-undang tersebut disusun dengan tidak transparan dan tampak terburu-buru.
Selain itu, menurut Busyro, penyusunan UU MD3 kurang melibatkan stake holder atau pemegang kepentingan terkait. KPK dan DPD juga menganggap undang-undang ini hanya mengakomodasi kepentingan anggota DPR.
"Ini suatu undang-undang yang substansinya holistik, sistemik. Itu harusnya membawa konsekuensinya, dilakukan dengan menjaga marwah DPR disusun secara cermat naskah akademiknya, disusun dengan melibatkan semua stake holdersecara transparan. Pembahasannya tidak terburu-buru. Yang kami dengar pembahasan dari 8 Juni hingga 8 Juli. Itu berapa hari yang dipakai, berapa jam, dan siapa saja yang diundang? Kesannya tidak begitu transparan," tutur Busyro.
Lebih jauh, dia memaparkan, KPK dan DPD sepakat menilai UU MD3 telah mengorupsi kewenangan lembaga lain, terutama penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Undang-undang ini, kata Busyro, juga mengorupsi kewenangan DPD dan mengorupsi konstitusi.
Busyro mencontohkan proses pembahasan RUU MD3 yang tidak melibatkan DPD secara maksimal. DPD mengaku hanya dilibatkan selama dua jam dalam rapat pembahasan undang-undang tersebut. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi 27 Maret 2013 memberikan wewenang bagi DPD untuk ikut mengusulkan undang-undang dan ikut dalam pembahasan daftar inventaris masalah (DIM).
Selain itu, lanjut Busyro, ada potensi pelanggaran hak aparat penegak hukum terkait prosedur pemeriksaan anggota DPR yang diatur dalam UU MD3. Pasal 245 ayat 1 UU MD3 memuat ketentuan bahwa penyidik, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Namun, dalam Pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa kepolisian, kejaksaan, dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.
Apabila dalam waktu 30 hari sejak permohonan diajukan tak juga keluar surat izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan, pemanggilan keterangan untuk penyidikan baru bisa dilakukan.
"Pasal-pasal yang tadi disebutkan itu ada korupsi konstitusi, hak DPD dilanggar, hak aparat penegak hukum dilanggar. Terkait pemeriksaan anggota DPR, dalam waktu 30 hari sudah cukup untuk menghilangkan alat bukti. Hak masyarakat pun sebetulnya dibajak melalui pasal-pasal tersebut. Putusan MK tidak diakomodasi. Ini bentuk pelecehan terhadap MK," katanya.
DPD ajukan uji materi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPD Irman Gusman menyatakan bahwa kualitas UU MD3 ini buruk sekali. Menurut dia, UU MD3 pantas ditolak dan diperbaiki. DPD pun berencana untuk mengajukan judicial review atau uji materi atas UU MD3.
"Kesimpulannya DPD akan melakukan judicial review bukan hanya terbatas DPD, melainkan juga menyeluruh karena satu aspirasi dengan KPK, BPK, dan lembaga hukum lainnya agar bisa menghasilkan undang-undang yang baik. DPR bekerja tidak menyimpang, semangatnya itu," ujar Irman.
Selain prosedur pemeriksaan anggota DPR yang lebih rumit, UU MD3 dianggap tidak pro-pemberantasan korupsi karena menghapus kalimat yang melarang anggota DPR menerima gratifikasi. UU tersebut juga menghapus Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI dan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membahas anggaran hingga satuan tiga
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepakat dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menolak Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru disahkan. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai, UU MD3 telah mengorupsi kewenangan lembaga lain, termasuk mengorupsi konstitusi.
"Kami sepakat pada pertemuan awal ini, kami akan tindak lanjuti dan bersama-sama menyatakan penolakan secara resmi atas disahkannya UU MD3 ini dengan sejumlah alasan yang tadi disampaikan," kata Busyro dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (23/7/2014).
Jumpa pers ini dilakukan setelah pimpinan KPK bertemu dengan Ketua DPD Irman Gusman dan sejumlah anggota DPD, yakni John Pieris serta Wayan Sudirta. Menurut Busyro, pihaknya sepakat dengan DPD untuk menolak UU MD3 karena undang-undang tersebut disusun dengan tidak transparan dan tampak terburu-buru.
Selain itu, menurut Busyro, penyusunan UU MD3 kurang melibatkan stake holder atau pemegang kepentingan terkait. KPK dan DPD juga menganggap undang-undang ini hanya mengakomodasi kepentingan anggota DPR.
"Ini suatu undang-undang yang substansinya holistik, sistemik. Itu harusnya membawa konsekuensinya, dilakukan dengan menjaga marwah DPR disusun secara cermat naskah akademiknya, disusun dengan melibatkan semua stake holdersecara transparan. Pembahasannya tidak terburu-buru. Yang kami dengar pembahasan dari 8 Juni hingga 8 Juli. Itu berapa hari yang dipakai, berapa jam, dan siapa saja yang diundang? Kesannya tidak begitu transparan," tutur Busyro.
Lebih jauh, dia memaparkan, KPK dan DPD sepakat menilai UU MD3 telah mengorupsi kewenangan lembaga lain, terutama penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan Kejaksaan Agung. Undang-undang ini, kata Busyro, juga mengorupsi kewenangan DPD dan mengorupsi konstitusi.
Busyro mencontohkan proses pembahasan RUU MD3 yang tidak melibatkan DPD secara maksimal. DPD mengaku hanya dilibatkan selama dua jam dalam rapat pembahasan undang-undang tersebut. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi 27 Maret 2013 memberikan wewenang bagi DPD untuk ikut mengusulkan undang-undang dan ikut dalam pembahasan daftar inventaris masalah (DIM).
Selain itu, lanjut Busyro, ada potensi pelanggaran hak aparat penegak hukum terkait prosedur pemeriksaan anggota DPR yang diatur dalam UU MD3. Pasal 245 ayat 1 UU MD3 memuat ketentuan bahwa penyidik, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Namun, dalam Pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa kepolisian, kejaksaan, dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.
Apabila dalam waktu 30 hari sejak permohonan diajukan tak juga keluar surat izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan, pemanggilan keterangan untuk penyidikan baru bisa dilakukan.
"Pasal-pasal yang tadi disebutkan itu ada korupsi konstitusi, hak DPD dilanggar, hak aparat penegak hukum dilanggar. Terkait pemeriksaan anggota DPR, dalam waktu 30 hari sudah cukup untuk menghilangkan alat bukti. Hak masyarakat pun sebetulnya dibajak melalui pasal-pasal tersebut. Putusan MK tidak diakomodasi. Ini bentuk pelecehan terhadap MK," katanya.
DPD ajukan uji materi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPD Irman Gusman menyatakan bahwa kualitas UU MD3 ini buruk sekali. Menurut dia, UU MD3 pantas ditolak dan diperbaiki. DPD pun berencana untuk mengajukan judicial review atau uji materi atas UU MD3.
"Kesimpulannya DPD akan melakukan judicial review bukan hanya terbatas DPD, melainkan juga menyeluruh karena satu aspirasi dengan KPK, BPK, dan lembaga hukum lainnya agar bisa menghasilkan undang-undang yang baik. DPR bekerja tidak menyimpang, semangatnya itu," ujar Irman.
Selain prosedur pemeriksaan anggota DPR yang lebih rumit, UU MD3 dianggap tidak pro-pemberantasan korupsi karena menghapus kalimat yang melarang anggota DPR menerima gratifikasi. UU tersebut juga menghapus Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI dan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membahas anggaran hingga satuan tiga